Pages

March 05, 2012

Canting

Meniup dan menarikan canting bukanlah sekedar keharusan. Pun tak jua hanya merupakan himpitan pilihan. Ia adalah sejumput kemewahan fana yang menenangkan. Tempat aku bersembunyi dari tangis anak minta dibelikan mainan, mata sendu istri yang bersiap pergi ke pasar, cerca maki para penagih hutang, juga hardik majikan pemilik toko-toko batik megah yang menagih setoran.

Pada lekuk motif mega mendung dan lambai dedaunan, kulukis berjuta kegetiran. Dari sel-sel kelabu di pikiran, mendekat ke kelopak mata, lalu berhenti barang sejenak di dada. Biasanya di situ gejolak hebat berkelindan. Ia naik turun; tergugu, miris, terbahak, amarah, jengah, pasrah. Ketika kemudian selesai dalam garis datar, hasrat mulai turun mengaliri jemari tangan. Ia menjiwai tiap sudut kuasku, yang kusebut canting kemewahan.

Menari, terus menari. Melukis, terus melukis. Tebal tipis, lurus lengkung, tinggi rendah, panjang pendek. Menyapu seluruh luka. Melibas wajah-wajah di hadapan. Mengerangkeng jerit separuh tubuh yang aus termakan usia dan jaman.

Memang pada akhirnya, tak pernah kudengar sendiri di telinga, celoteh kekaguman pembeli kain batik di toko-toko para juragan. Meski sesekali dengan sombong ingin kukisahkan, seluruh keelokan dan sensualitas lukisan itu lahir dari tarian canting yang setiap hari kugenggam di tangan. Tak ingin kunilai segenap aksi sembunyiku dengan puluhan ribu uang nan berlembaran. Sungguh.

”Ma, wis bengi gah. Mimi nonggoni ning umah. Beli balik tah, Ma?”*
Ah, tarianku terputus oleh suara lengking si Kacung. Tak lama kemudian kugandeng tangannya dan melangkah pulang.

Jakarta, 22 November 2011
-N-

*bahasa Cirebon yang artinya:
”Pak, sudah malam ini. Ibu menunggu di rumah. Apa tidak pulang, Pak?”

No comments: