Meniup dan menarikan canting bukanlah sekedar keharusan. Pun tak jua hanya merupakan himpitan pilihan. Ia adalah sejumput kemewahan
fana yang menenangkan. Tempat aku bersembunyi dari tangis anak minta dibelikan
mainan, mata sendu istri yang bersiap pergi ke pasar, cerca maki para penagih
hutang, juga hardik majikan pemilik toko-toko batik megah yang menagih setoran.
Pada lekuk motif mega mendung dan lambai dedaunan,
kulukis berjuta kegetiran. Dari sel-sel kelabu di pikiran, mendekat ke kelopak
mata, lalu berhenti barang sejenak di dada. Biasanya di situ gejolak hebat
berkelindan. Ia naik turun; tergugu, miris, terbahak, amarah, jengah, pasrah.
Ketika kemudian selesai dalam garis datar, hasrat mulai turun mengaliri jemari
tangan. Ia menjiwai tiap sudut kuasku, yang kusebut canting kemewahan.
Menari, terus menari. Melukis, terus melukis. Tebal
tipis, lurus lengkung, tinggi rendah, panjang pendek. Menyapu seluruh luka.
Melibas wajah-wajah di hadapan. Mengerangkeng jerit separuh tubuh yang aus
termakan usia dan jaman.
Memang pada akhirnya, tak pernah kudengar sendiri di
telinga, celoteh kekaguman pembeli kain batik di toko-toko para juragan. Meski
sesekali dengan sombong ingin kukisahkan, seluruh keelokan dan sensualitas
lukisan itu lahir dari tarian canting yang setiap hari kugenggam
di tangan. Tak ingin kunilai segenap aksi sembunyiku dengan puluhan ribu uang
nan berlembaran. Sungguh.
”Ma,
wis bengi gah. Mimi nonggoni ning umah. Beli balik tah, Ma?”*
Ah, tarianku terputus
oleh suara lengking si Kacung. Tak lama kemudian kugandeng tangannya dan
melangkah pulang.
Jakarta, 22 November 2011
-N-
*bahasa
Cirebon yang artinya:
”Pak, sudah malam ini. Ibu menunggu di rumah. Apa tidak
pulang, Pak?”
No comments:
Post a Comment