ada banyak cara mereda kedukaan.
namun begitu berjaraknya waktu menyembuhkannya.
bahkan ketika rona pucuk hijau bermunculan di ranting-ranting pohon.
juga kerling bening embun menetesi selasar urat nadi.
aku termangu menyapu setiap ruas wajah kerasmu.
sisa luka perih itu bukan kemauanmu.
kamu hanya terlalu angkuh untuk membiarkan rintik hujan
menghapus maskara kelam di lingkar mata tajam itu.
berhentilah barang semalam purnama.
bersandarlah di lorong-lorong jiwa,
yang tersedia di setiap sudut langkah.
namun jangan pernah berharap,
malam ini takkan beranjak fajar.
kulirik tungkai dan seluruh persendianku. masih sekokoh dulu.
saat terakhir kali rebah tubuh itu mendekap kemarau jasadku.
ah, bahkan aku yang setegar inipun,
masih saja mengernyit dan berlinang dalam ingatan.
sewaktu para penebang liar itu, menguliti selasar jiwaku.
kukepakkan kembali sayap rimbun dedaunanku.
sini, kemari duhai anak manusia.
selonjorkan kakimu, dan benamkan pedihmu perlahan di akar hidupku.
mari saling bertukar kisah.
biar lobang hitam itu lenyap musnah.
karena akulah sang pohon.
sang selasar jiwa.
berkelana menyimpan rindu dendam.
No comments:
Post a Comment