“You is kind. You is smart. You is important.”
Begitulah kalimat
penyejuk tersebut dilantunkan oleh Aibileen, pekerja rumah tangga kulit hitam di
Mississipi pada tahun 60-an dalam film TheHelp (2011), setiap kali Mae Mobley Leefort –gadis kecil anak majikan kulit
putihnya, yang ia asuh sejak bayi-- bermain dengannya atau sedang berduka hatinya.
Kalimat singkat yang sederhana, bahkan dirangkaikan dengan tata bahasa Inggris yang
tidak tepat dimana kata “you”
disambung dengan “is” dan bukan “are”. Toh, Mae tak peduli. Dekap lembut
Aibileen, sorot mata teduh dan senyum hangatnya saat mengucapkan kalimat itu, telah
sangat mewakili spektrum cinta dan energi positif tanpa menghiraukan batas
kelas sosial serta membuat gadis kecil itu merasa penting, dibutuhkan dan
berharga.
Mengingat kembali film itu, sekonyong-konyong memaksa saya menoleh balik kenangan tiga belas tahun silam. Saat itu saya baru lulus kuliah, pulang ke kota kelahiran, tanpa pekerjaan dan tanpa harta kekayaan. Ayah pun sedang sakit cukup parah sehingga tak dapat memberikan saya dan adik-adik nafkah. Pekerjaan serabutan pun saya jajal tanpa pedulikan gengsi. Saya berjualan makanan di pasar tradisional yang becek dan bau, serta memasok kue-kue ke beberapa sekolah. Perjuangan yang tidak ringan, dengan hasil yang pas-pasan. Namun jika tak demikian, saya tahu bahwa keluarga saya tak akan bisa makan dan adik-adik tak bisa berangkat sekolah. Pukulan telak datang ketika kakek saya pada suatu hari mencemooh apa yang saya lakukan. Menurutnya, dengan gelar sarjana yang saya sandang, tak pantas saya berjualan di pasar. Memalukan keluarga, begitu cercanya. Padahal, ia pun tak punya jalan keluar bagi kondisi keuangan kami, sementara ayah saja tak pernah memandang saya sedemikian rendah. Tak pelak saya bersitegang dengan kakek dan saya terluka atas apa yang pernah ia katakan. Mengenang peristiwa tersebut, rasanya saat itu saya sangat membutuhkan seorang Aibileen untuk memeluk saya lama-lama, memandang wajah saya dalam-dalam, lalu menyenandungkan lirih kalimat “you is kind… you is smart... you is important...”. Kamu itu baik, kamu itu cerdas, kamu itu penting.
Sama halnya ketika kawan laki-laki saya berkeluh kesah atas perlakuan yang
diterimanya dari keluarga besarnya. Kecintaannya pada dunia mengajar dan
anak-anak yang kurang beruntung membawanya kepada kesahajaan hidup di Desa
Kuala Behe, Kecamatan Landak, Kalimantan Barat. Usianya sudah nyaris berkepala
4, masih lajang, dengan penghasilan yang tak bisa dibanggakan oleh sebagian besar
orang tua di kota sekelas Malang, Jawa Timur. Ia asyik dengan aktivitasnya
mengajar, kadang tanpa bayaran, hanya ada senyum anak-anak dan wajah terima
kasih para orang tua mereka. Toh, ia bahagia. Meski perih tak dapat disangkalnya
ketika ayah, ibu dan keluarganya menganggap ia tak berguna dan menyia-nyiakan
potensi dirinya untuk menjadi seorang pengusaha sukses, beristri perempuan terpelajar
dan memberikan anak cucu yang lucu dan pintar.
Hidup memang persoalan memilih dan memenuhi kebutuhan. Para psikolog humanis
percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan
potensi-potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Untuk
membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di
sekelilingnya, tapi juga mencapai sesuatu yang lebih. Dalam Hirarki
Kebutuhan yang digagas oleh Abraham Harold Maslow, ketika kebutuhan
fisiologis (basic needs) manusia telah terpenuhi, maka ia akan berupaya
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk dicintai dan
disayangi untuk kemudian mencapai kebutuhan harga diri. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan
harga diri, akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada
orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih
kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri.
Orang sering berpendapat bahwa berbuat baik merupakan hal yang lumrah dan
sudah semestinya, karena itu tidak perlu diapresiasi. Pandangan ini menurut
saya kurang tepat. Sebab, apapun yang kita peroleh dari bekerja dan berupaya,
tidak ada yang lebih bernilai daripada perasaan bahwa kita memberi kontribusi
nilai terhadap capaian yang lebih besar. Sayangnya, kita seringkali lena dan
lupa. Sewaktu mengharap orang lain memberikan apresiasi dan pengakuan atas
eksistensi diri, kita sendiri malah abai untuk melakukannya kepada yang lain. Kita tak merasa perlu menyatakan secara lisan rasa
kasih kepada pasangan hidup, atas kebaikan dan kesabarannya menjadi seorang
yang menemani kita hingga detik ini serta memberikan dukungan atas apa yang
kita kerjakan. Kita lupa mengucapkan kekaguman kepada sahabat atas prestasi gemilangnya
di kantor. Kita enggan menyampaikan terima kasih atas bantuan para pekerja
rumah tangga kita, seremeh apapun tugas mereka. Kita mengabaikan kontribusi
kecil tetangga, rekan kerja, atasan, bawahan, orangtua, bahkan boleh jadi abang
bajaj atau ojek yang sehari-hari mengantar kita.
Melalui aliran
pengalaman melihat, mendengar, memikirkan, merasakan dan melakukan ini, saya
banyak belajar --dengan cara yang terkadang amat menohok atau malah tak sengaja--
tentang betapa signifikannya implikasi memberi penghargaan kepada orang-orang di
sekeliling kita. Ia bukan sekedar pengakuan bahwa seseorang layak dihargai atas
sesedikit apapun upaya yang dilakukannya untuk menjahit kebaikan, melainkan
juga ekspresi syukur tulus yang memuliakan eksistensi seseorang sebagai manusia
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bahwa ia berdaya, berpretensi
positif serta layak untuk ada di tengah-tengah dunia. Meski egosentral manusia acapkali
merongrong individu untuk lebih banyak menuntut ketimbang memberi, seyogianya
justru dorongan tersebut menjadikan refleksi komprehensif untuk berbuat lebih.
Sambil terus
merenungi makna tersirat dalam film The
Help yang diangkat dari novel
karya Kathryn Stockett, saya
kemudian mematikan netbook karena
hari telah mulai gelap. Tersenyum mengingat beberapa hari yang lalu, gadis
kecil delapan tahunku dengan ragu menunjukkan raport hasil belajar selama setengah semester. Nilainya sangat jauh
turun dibandingkan sebelumnya. Ia tampak sangat kecewa dan sedih, matanya pun
berkaca-kaca saat menceritakan tentang ledekan teman-temannya. Tiba-tiba saya
terkenang lagi Aibileen. Ketika tak selalu ada Aibileen-Aibileen lain di dalam
kerikil tajam hidup saya, ingin rasanya menjadi dirinya untuk buah hati saya
saat itu. Saya peluk dia, memandang matanya dalam-dalam, lalu pelan saya
bisikkan, “you is kind… you is smart...
you is important...”.
No comments:
Post a Comment