Pages

April 09, 2012

you is important

 














“You is kind. You is smart. You is important.”
Begitulah kalimat penyejuk tersebut dilantunkan oleh Aibileen, pekerja rumah tangga kulit hitam di Mississipi pada tahun 60-an dalam film TheHelp (2011), setiap kali Mae Mobley Leefort –gadis kecil anak majikan kulit putihnya, yang ia asuh sejak bayi-- bermain dengannya atau sedang berduka hatinya. Kalimat singkat yang sederhana, bahkan dirangkaikan dengan tata bahasa Inggris yang tidak tepat dimana kata “you” disambung dengan “is” dan bukan “are”. Toh, Mae tak peduli. Dekap lembut Aibileen, sorot mata teduh dan senyum hangatnya saat mengucapkan kalimat itu, telah sangat mewakili spektrum cinta dan energi positif tanpa menghiraukan batas kelas sosial serta membuat gadis kecil itu merasa penting, dibutuhkan dan berharga.
















Mengingat kembali film itu, sekonyong-konyong memaksa saya menoleh balik kenangan tiga belas tahun silam. Saat itu saya baru lulus kuliah, pulang ke kota kelahiran, tanpa pekerjaan dan tanpa harta kekayaan. Ayah pun sedang sakit cukup parah sehingga tak dapat memberikan saya dan adik-adik nafkah. Pekerjaan serabutan pun saya jajal tanpa pedulikan gengsi. Saya berjualan makanan di pasar tradisional yang becek dan bau, serta memasok kue-kue ke beberapa sekolah. Perjuangan yang tidak ringan, dengan hasil yang pas-pasan. Namun jika tak demikian, saya tahu bahwa keluarga saya tak akan bisa makan dan adik-adik tak bisa berangkat sekolah. Pukulan telak datang ketika kakek saya pada suatu hari mencemooh apa yang saya lakukan. Menurutnya, dengan gelar sarjana yang saya sandang, tak pantas saya berjualan di pasar. Memalukan keluarga, begitu cercanya. Padahal, ia pun tak punya jalan keluar bagi kondisi keuangan kami, sementara ayah saja tak pernah memandang saya sedemikian rendah. Tak pelak saya bersitegang dengan kakek dan saya terluka atas apa yang pernah ia katakan. Mengenang peristiwa tersebut, rasanya saat itu saya sangat membutuhkan seorang Aibileen untuk memeluk saya lama-lama, memandang wajah saya dalam-dalam, lalu menyenandungkan lirih kalimat “you is kind… you is smart... you is important...”. Kamu itu baik, kamu itu cerdas, kamu itu penting.

Sama halnya ketika kawan laki-laki saya berkeluh kesah atas perlakuan yang diterimanya dari keluarga besarnya. Kecintaannya pada dunia mengajar dan anak-anak yang kurang beruntung membawanya kepada kesahajaan hidup di Desa Kuala Behe, Kecamatan Landak, Kalimantan Barat. Usianya sudah nyaris berkepala 4, masih lajang, dengan penghasilan yang tak bisa dibanggakan oleh sebagian besar orang tua di kota sekelas Malang, Jawa Timur. Ia asyik dengan aktivitasnya mengajar, kadang tanpa bayaran, hanya ada senyum anak-anak dan wajah terima kasih para orang tua mereka. Toh, ia bahagia. Meski perih tak dapat disangkalnya ketika ayah, ibu dan keluarganya menganggap ia tak berguna dan menyia-nyiakan potensi dirinya untuk menjadi seorang pengusaha sukses, beristri perempuan terpelajar dan memberikan anak cucu yang lucu dan pintar.

Hidup memang persoalan memilih dan memenuhi kebutuhan. Para psikolog humanis percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat untuk merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi diri. Untuk membuktikan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi yang terjadi di sekelilingnya, tapi juga mencapai sesuatu yang lebih. Dalam Hirarki Kebutuhan yang digagas oleh Abraham Harold Maslow, ketika kebutuhan fisiologis (basic needs) manusia telah terpenuhi, maka ia akan berupaya memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan untuk dicintai dan disayangi untuk kemudian mencapai kebutuhan harga diri.  Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri, akan tampil sebagai orang yang percaya diri, tidak tergantung pada orang lain dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri.

Orang sering berpendapat bahwa berbuat baik merupakan hal yang lumrah dan sudah semestinya, karena itu tidak perlu diapresiasi. Pandangan ini menurut saya kurang tepat. Sebab, apapun yang kita peroleh dari bekerja dan berupaya, tidak ada yang lebih bernilai daripada perasaan bahwa kita memberi kontribusi nilai terhadap capaian yang lebih besar. Sayangnya, kita seringkali lena dan lupa. Sewaktu mengharap orang lain memberikan apresiasi dan pengakuan atas eksistensi diri, kita sendiri malah abai untuk melakukannya kepada yang lain. Kita tak merasa perlu menyatakan secara lisan rasa kasih kepada pasangan hidup, atas kebaikan dan kesabarannya menjadi seorang yang menemani kita hingga detik ini serta memberikan dukungan atas apa yang kita kerjakan. Kita lupa mengucapkan kekaguman kepada sahabat atas prestasi gemilangnya di kantor. Kita enggan menyampaikan terima kasih atas bantuan para pekerja rumah tangga kita, seremeh apapun tugas mereka. Kita mengabaikan kontribusi kecil tetangga, rekan kerja, atasan, bawahan, orangtua, bahkan boleh jadi abang bajaj atau ojek yang sehari-hari mengantar kita. 

Melalui aliran pengalaman melihat, mendengar, memikirkan, merasakan dan melakukan ini, saya banyak belajar --dengan cara yang terkadang amat menohok atau malah tak sengaja-- tentang betapa signifikannya implikasi memberi penghargaan kepada orang-orang di sekeliling kita. Ia bukan sekedar pengakuan bahwa seseorang layak dihargai atas sesedikit apapun upaya yang dilakukannya untuk menjahit kebaikan, melainkan juga ekspresi syukur tulus yang memuliakan eksistensi seseorang sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bahwa ia berdaya, berpretensi positif serta layak untuk ada di tengah-tengah dunia. Meski egosentral manusia acapkali merongrong individu untuk lebih banyak menuntut ketimbang memberi, seyogianya justru dorongan tersebut menjadikan refleksi komprehensif untuk berbuat lebih.

Sambil terus merenungi makna tersirat dalam film The Help yang diangkat dari novel karya Kathryn Stockett, saya kemudian mematikan netbook karena hari telah mulai gelap. Tersenyum mengingat beberapa hari yang lalu, gadis kecil delapan tahunku dengan ragu menunjukkan raport hasil belajar selama setengah semester. Nilainya sangat jauh turun dibandingkan sebelumnya. Ia tampak sangat kecewa dan sedih, matanya pun berkaca-kaca saat menceritakan tentang ledekan teman-temannya. Tiba-tiba saya terkenang lagi Aibileen. Ketika tak selalu ada Aibileen-Aibileen lain di dalam kerikil tajam hidup saya, ingin rasanya menjadi dirinya untuk buah hati saya saat itu. Saya peluk dia, memandang matanya dalam-dalam, lalu pelan saya bisikkan, “you is kind… you is smart... you is important...”.

No comments: