Terbangun dua kali dalam ketaklenaan istirahnya semalam. Betapa kuatnya pusaran kegelisahan itu. Ketika tanya kusandingkan di benaknya, dia akui: selama bertahun-tahun tiga kegelisahan fundamental melanda dirinya. Yaitu kegelisahan diri sendiri, rumah tangga dan hidup bangsanya.
'Aku hanyalah seorang pelarian, yang meninggalkan rumah dengan sejumlah maha ide yang mendiami otakku lewat berbagai buku dan pengetahuan kontekstual. Begitu tegangnya kuhadapi dunia di depan mata. Sehingga setiap hari kerjaku hanya marah dan marah.' Begitulah ia terus bergumam lirih. Pernah beberapa kali kugoda dirinya dengan ledekan tawa dan senyum, saat dia merasa mengalahkanku dalam banyak perdebatan. Kubilang, kamu cuma buku, textbook thinker! Beruntunglah tak muncul amarah di sana, hanya sorot jengah dan gelak membahana. Andai dia tahu, menjelang 25 tahun baru aku mengerti. Memahami hidup seyogyanya juga dengan mengalaminya. Mengalaminya dengan rileks dan rendah hati, dengan guyonan dan komedi. Memahami hidup bukan hanya dalam pemaknaan rasional dan leksikal. Tapi juga dengan penghayatan fisikal dan spiritual. Tidak perlu berlebihan. Apa yang kamu miliki dan dayagunakan, itulah dasar apa yang akan kau dapatkan.
Bersama komunitas kegelisahan itu, justru aku mengenali banyak hal yang tidak akan kudapatkan dalam keluarga, sekolah, juga dalam kesempatan hidup lainnya. Bagaimana dunia lokal yang begitu jauh dan terasa mati dalam tubuhku, menjadi embrio dalam alam intelektual, spiritual bahkan penghayatan tubuhku.
Oh, sekonyong aku begitu merindukan dunia yang berjarak dari dunia 'nyata' yang ada. Dunia yang menggerakkan kita tidak melulu dari kekuatan dan elaborasi pikiran serta rasionalitas. Tidak dari materialitas yang nampak, terpegang dan terukur. Tapi dari sebuah harmoni yang menghempas dan mengalun lembut dan keras, ke dalam hulu sanubari kita. Mungkin dia akan mengatakan 'omong kosong!' untuk itu semua. Ya sudah, tak mengapa. Tidak usah dipaksakan. Mungkin ia hanya butuh yang pasti. Tak ada lagi kemungkinan lainnya. Dunia dan hidup tanpa noktah batas, dunia batin dan imajinasi kita. Kita sudah terbiasa sumringah dengan angka pertumbuhan ekonomi atau jumlah cadangan devisa BI. Namun di seberang kondominium kita, sekian keluarga tidak tahu akan makan apa hari ini, bayinya sekarat karena kali yang kumuh hitam dan makan nasi aking busuk, anaknya bergumul di perempatan bersama bromocorah, virus AIDS atau hydrocephalus. Karena memang dunia inilah yang telah mati. Tidak tumbuh lagi. Dan lambat laun kita pun dengan sadar menafikannya.
Kututup dunia batinku dengan sekali lagi memandangi wajahnya. Akhirnya, ia terlelap sudah. Tinggal aku terjaga, terjebak peluh insomnia.
*Makasih RPD, buat banyak cuplikan di sana sini yang sangat menginspirasi
..dan Raditya, karena kegelisahanmu baru saja dimulai nak..
No comments:
Post a Comment