Tadi malam, karena satu dua pekerjaan yang masih menumpuk dengan tenggat waktu pagi ini, saya memutuskan untuk berdiam lebih lama di kantor dan menyelesaikannya. Penat...? Tentu saja. Apalagi sejak siang harinya ketidakkonsentrasian acapkali menyita sisi produktivitas saya dan membuat saya jadi bahan tertawaan seorang rekan kerja akibat insiden kelinglungan yang murni tidak dibuat-buat. :D
Tanpa disadari, waktu terus bergulir merambahi malam. Rekan-rekan kerja yang sebelumnya masih asyik di depan PC mereka, satu persatu berpamitan meninggalkan bangunan kantor kami. Sementara, saya masih bertahan di kursi kerja saya menyelesaikan sisa pekerjaan sambil sesekali membuka akun facebook dan chatting dengan beberapa teman di dunia cyber. Beruntung sekali jarak antara rumah saya dengan kantor tidak terlalu jauh, sehingga dalam hitungan matematis waktu yang sederhana, pulang tengah malam pun masih bisa dikelola oleh nalar.
Saya melirik penunjuk waktu di lengan kanan. Beberapa detik lewat dari jam 21.57. Hutang sudah dilunasi. Waktunya berkemas dan pulang. Tepat jam 22.00 saya berpamitan kepada Pak Satpam di lantai 1, lalu melenggang pelan menuju gerbang depan. Pelataran parkir sepi. Tak ada seorang manusia pun di sana. Saya terus berjalan, sambil menimbang-nimbang akan memanggil ojek, bajaj atau taksi untuk sampai ke rumah? Ada sedikit perasaan gamang dan cemas ketika melihat di jalanan depan kantor tak ada satu pun angkutan umum yang saya bayangkan tadi… Mau tidak mau, saya harus berjalan dulu beberapa puluh meter untuk sampai di perempatan jalan yang lebih ramai supaya tidak terlunta-lunta seperti ini. Terhibur oleh sejuknya angin malam yang menerpa pipi, saya pun melangkahkan kaki perlahan.
Di kejauhan dan kegelapan, terlihat kerumunan laki-laki dengan riuh rendah suara canda tawa mereka. Saya menebak mereka adalah kumpulan para pedagang asongan dan sopir bajaj yang sedang mengaso atau hanya beberapa pemuda yang sedang kongkow menghabiskan malam. Berjalan agak cepat ketika hampir mendekati kerumunan, sekilas terekam wajah-wajah garang dan seringai jahil mereka. Naluri survival sekonyong-konyong menyelimuti pikiran saya. Saat itu juga saya menyesal kenapa dulu pada saat remaja tidak sempat menuntaskan latihan bela diri hanya gara-gara kemalasan berolah fisik. Pikiran saya lainnya sibuk mereka-reka dan berencana, jika para lelaki itu berani menyentuh dan mengganggu saya, sepertinya.. ide menghantamkan tas ransel yang berat dan melekat di punggung saya ini ke kepala mereka akan lumayan ampuh mengalihkan perhatian dan saya akan punya kesempatan untuk menendang mereka keras-keras atau malah melarikan diri secepat-cepatnya. Dengan mantap saya kuatkan hati dan terus melangkah cepat. Ketika beberapa lelaki itu beranjak dari posisi jongkoknya, saya tertegun sejenak karena terhalangi oleh tubuh besar mereka. God, please help me… Di saat saya sibuk menenangkan degup jantung yang begitu keras berloncatan, tiba-tiba tubuh ini terhentak akibat sepasang tangan yang menarik saya ke arah trotoar sepi di tepi jalan. Ada suara makian bersahutan dan deruan keras lainnya yang saya dengar bersamaan dengan naiknya rasa mual di perut saya. Kepanikan mulai menyergap, saya berusaha sekuat tenaga membenahi posisi tubuh yang agak oleng dan secepat kilat memasang benteng pertahanan ala kadarnya. Lagi-lagi saya menyesal, kenapa belum sempat membeli alat penyemprot berisi cairan sepanas cabe untuk mengantisipasi situasi seperti ini ya? Uuughhh…terlambat sudah! Rasanya ingin menangis karena ketakutan…, tapi logika saya berkata: tidak ada waktu untuk menangis saat ini! Sampai akhirnya seseorang bertubuh besar diantara mereka serta merta menyodorkan tangan ke arah saya dan berkata, “Mari saya bantu Mbak… Maaf ya, tadi saya tarik terlalu keras. Tapi kalau nggak begitu, pasti Mbak udah ketabrak mobil kijang yang ngebut tadi…”
Haah? Mobil…? Mobil yang mana…? Dipenuhi kebingungan yang samar-samar berangsur surut, saya menerima uluran tangannya dan kembali berdiri tegak. Nyaris berbisik saya ucapkan terima kasih kepadanya. Dari penjelasan mereka, saya jadi mengerti bahwa beberapa saat yang lalu sebuah mobil kijang yang melaju kencang nyaris menabrak saya yang tanpa sadar berjalan agak ke arah tengah badan jalan hanya gara-gara ketakutan dan kecurigaan kepada mereka. Rasa malu dan bersalah yang amat sangat mendera ruang batin ini. Sepintas saya pandangi satu persatu wajah para lelaki itu yang asyik bercerita dengan tawa tak lepas dari bibir mereka. Wajah-wajah garang dan keras penuh keletihan berpadu dengan keramahan dan kesederhanaan orang kebanyakan. Wajah-wajah yang terabaikan dan ternegasikan oleh imajinasi dan prasangka saya. Kalau saja saya mau sedikit berbaik sangka dan menciutkan keangkuhan diri dalam membentuk opini-opini instan… Ah, betapa kecilnya kemampuan saya mengelola ego ini dengan proporsional. Setelah berpamitan dan berterima kasih kedua kalinya, saya pun meneruskan langkah dengan masygul.
Ada bermenit-menit lamanya saya menanti ojek, bajaj atau taksi yang bisa membawa saya pulang. Malam yang nyaris sepi seolah memberi kesempatan pada diri ini untuk menekuri insiden singkat tadi. Membongkar semua simpul-simpul keangkuhan yang disadari atau tidak seringkali saya kenakan untuk mengemas kelemahan dalam menempatkan suatu penilaian. Memporakporandakan keangkuhan yang senantiasa mengklaim diri ini sebagai pribadi yang lebih baik, bermoral dan superior dibanding yang lainnya.
Akhirnya, saya pun memanggil ojek motor yang lewat. Dan sepanjang perjalanan pulang, saya terbawa aliran obrolan ringan si Abang ojek tentang hujan yang baru saja turun di belahan Jakarta yang lain, kelengangan jalan di waktu malam serta mimpi-mimpi seorang tukang ojek untuk pulang kampung setelah bertahun-tahun tak bersua anak istrinya. Malam semakin merapat, angin sejuk kian menepis wajah. Saya pun semakin membungkus tubuh dengan lipatan tangan erat-erat seiring upaya susah payah saya membungkus bongkahan-bongkahan kesombongan yang tercecer di sudut perempatan jalan tadi.
Saat menuliskan ini, sebetulnya saya juga sedang berusaha sekali lagi membungkus kesombongan diri dan membuat sekelumit pengakuan. Semalam saya berseloroh dan mencandai seorang teman baik dengan nada angkuh, saya bilang “berterima kasihlah padaku, karena aku telah memberimu topik yang membangkitkan gairah dan inspirasi menulismu”. Hahaha, tentu saja langsung disambut jawabannya, “Ih, ge-er!”. Andaikan dia tahu, justru karena dia mulai menulis lagi, hal itulah yang membangkitkan gairah saya untuk menuangkan insiden singkat tadi malam ke dalam tulisan ini. Thanks to you, Bro… :)
No comments:
Post a Comment